Minggu, 20 November 2011

Jati Diri Umat Beragama | Islam - Kristen


Sebuah realita kehidupan, setiap dari kita pasti pernah membicarakan tentang jati dirinya. Jati diri pribadi sebagai bagian dari warga negara, sebuah bangsa, maupun agama.
Jati diri.

Dalam tulisan berikut akan dibahas jati diri seseorang sebagai umat beragama. Kesempatan kali ini, akan terulas jati diri umat Kristiani/Kristen (pengikut Tuhan Kristus) dan jati diri umat Islam (orang yang berserah diri pada-Nya). Tulisan ini, cukup diilhami sebagai cakupan wawasan kita akan realita kehidupan. Selebihnya, diserahkan pada masing-masing ilham orang.

Wawasan Pengetahuan
Jati Diri




KRISTIANI

Dewasa ini ada banyak orang Kristen yang sudah kehilangan jati dirinya, artinya mereka sudah banyak terpengaruh oleh kehidupan dunia ini, bahkan ada yang memberikan argumentasi dengan berpendapat: “Jadi orang Kristen janganlah terlalu munafik (sok suci)”. Menjadi pertanyaan, bagaimana orang Kristen yang demikian ini dapat menjadi “terang” bagi dunia ini?.

Memang mereka tetap orang Kristen, tetapi mereka tidak sepenuhnya menjalankan apa yang diajarkan Tuhan Yesus melalui Firman-Nya, yang mengatakan: “Demikian hendaknya terangmu bercahaya didepan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di Sorga” (Matius 5:16). Untuk itu melalui apa yang dikatakan dalam I Petrus 3:8-12 ini, ada tiga kebenaran mengenai jati diri yang benar di mata Tuhan, yaitu:


Pertama : Mengasihi (I Petrus 3:8)

Ingat!, perbuatan baik itu tidak hanya terbatas suka menolong orang saja, tetapi perbuatan baik yang merupakan jati diri keKristenan adalah jujur, hidup benar, tekun, sikap manis, dan sopan. Bila orang Kristen sudah kehilangan jati dirinya, artinya hidupnya tidak memiliki beban untuk melakukan kebaikan, mereka dapat diibaratkan seperti pelita yang sudah padam, tidak berguna lagi bagi dunia. Mengasihi dengan menciptakan seia sekata, seperasaan, penyayang dan rendah hati. Sikap dan perbuatan seperti ini, merupakan dambaan Allah bagi setiap umat-Nya dan jati diri yang tidak bisa diabaikan.


Kedua : Memberkati (I Petrus 3:9-10)

Dalam hal memberkati, ini merupakan tantangan yang tidak bisa dihindari. Memberkati berarti: “meskipun kita tidak dikasihi, dianggap remeh atau dipandang rendah, itu tidak menghalangi kita untuk member-kati”. Orang yang memberkati, ia tidak akan melihat kesalahan yang pernah dibuat orang lain terhadap dirinya.



Ketiga : Mencari perdamaian (I Petrus 3:11)

Peluang untuk tidak berdamai, itu senantiasa ada, tetapi selaku anak-anak Tuhan, ketahuilah bahwa bukan kehancuran, perselisihan atau permusuhan yang dicari-cari, melainkan perdamaian. Orang yang menjauhi perbuatan yang jahat dan melakukan apa yang baik, itu merupa kan bukti jati diri Kristen. Jika kita merencanakan kejahatan, ketahuilah bahwa Allah mengetahui akan hal itu. Untuk itu jangan lakukan kejahatan.


ISLAMI


Dr. Azwira bin Abdul Aziz

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا
من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له
وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين وبعد،
Pengamatan terhadap realitas umat Islam pada hari ini menunjukkan betapa mereka memiliki tingkat jati diri yang sangat lemah, rapuh dan mudah tergugat oleh tantangan pemikiran dan budaya lingkungan. Pembuktian hakikat ini tidak perlu ke studi lapangan yang membuang banyak waktu, tenaga dan harta benda karena sejak lama ia telah digambarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melalui sabdanya:
<<>>
يوشك أن تداعى عليكم الأمم كما تداعى الأكلة إلى قصعتها,
فقال قائل: أومن قلة نحن يومئذ?
قال: بل أنتم يومئذ كثير ولكنكم غثاء كغثاء السيل,
ولينزعن الله من صدور عدوكم المهابة منكم وليقذفن الله في قلوبكم الوهن,
قالوا: وما الوهن?
قال: حب الدنيا وكراهية الموت.





<<>>


Maksudnya:

"(Masa) hampir untuk umat-umat (bukan Islam) untuk saling bekerja sama menguasai kamu sebagaimana para pelahap saling ajak mengajak untuk menyantap hidangan mereka.

Sahabat bertanya: "Apakah kondisi itu disebabkan jumlah kita sedikit pada hari itu?"

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari itu banyak cuma kondisi kamu sama seperti buih air bah. Oleh karena itu Allah akan mencabut dari hati musuh kalian rasa ketakutan terhadap kamu, sebaliknya Dia akan melemparkan ke dalam hati kamu perasaan al-Wahn ".

Sahabat bertanya: "Apakah itu al-Wahn?

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
"Cinta akan dunia dan takut akan mati".

Dalam hadits ini Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menggambarkan kondisi umat Islam yang telah hilang jati diri lalu hanyut dibawa arus kehidupan, sama seperti ghutha'as-sail (buih air bah) yang hanyut terapung-apung dibawa arus sehingga ia lenyap ditelan bumi atau hilang di tengah lautan. Apa yang digambarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah suatu mukjizat ilmiah yang benar-benar menjadi kenyataan terutama dalam konteks umat Islam pada hari ini yang tumbuh dalam suasana terlalu bebas dan terbuka sehingga kehidupan sosial mereka tidak lagi dibangun di atas nilai-nilai agama, tetapi pada nilai kebebasan yang mereka tiru dari budaya bukan Islam.

Kebanyakan umat Islam tidak lagi menilai sesuatu berdasarkan prinsip dan metodologi ilmu agama yang mantap, tetapi berdasarkan keinginan nafsu mereka semata-mata atau berdasarkan taqlid buta terhadap tradisi yang telah membudaya. Akhirnya, jati diri mereka hilang dan timbullah gejala al-Wahn yang mendorong mereka untuk mengorbankan segala prinsip dan ajaran agama dengan semena-mena.

Jati berarti asli, murni, murni, yang sebenarnya dan tidak bercampur. Jati diri muslim bukan berarti nilai-nilai kebudayaan umat Islam yang telah terbeza oleh keragaman kabilah, bangsa dan keturunan, tetapi ia berarti nilai-nilai agama Islam yang murni, murni, tetap dan tidak bercampur dengan bentuk pemikiran atau budaya asing.

Seseorang muslim dilihat sebagai berjati diri bukan karena keteguhannya berpegang dengan nilai-nilai budaya bangsanya semata, tetapi karena keteguhannya berpegang dengan nilai-nilai agama Islam yang sebenarnya yang tidak bercampur dengan bentuk paham, pegangan dan amalan salah. Nilai budaya suatu bangsa hanya bisa diterima sebagai dasar jati diri bangsa itu jika ia benar-benar sesuai dengan nilai-nilai agama. Sebaliknya jika terjadi kontradiksi antara nilai-nilai budaya dan agama, maka nilai budaya itu sendiri harus dilihat sebagai faktor penghakis yang mengikis jati diri seseorang muslim.

Justru, tidak ada jalan yang lebih efektif untuk mengembali dan meningkatkan kekuatan jati diri umat Islam, melainkan dengan cara mengembalikan mereka kepada penghayatan agama yang sebenarnya berdasarkan dasar-dasar pendidikan Al-Quran dan As-Sunnah.

Maka...
  1. Utamakan Tanggung Jawab!
  2. Yakin dengan kebenaran Islam!
  3. Menyertakan Ilmu Dengan Amal!
  4. Menjaga Amalan Lahir Dan Batin!
  5. Memenuhi Persyaratan Penerimaan Amalan!
  6. Berbeda dengan Golongan Bukan Islam!
  7. Menghayati Kalimat Dua Syahadat!
  8. Berpegang Teguh Dengan Sunnah Nabi!
  9. Menjauhi Praktek Bid'ah!
  10. Jangan Perkecilkan Ajaran Agama!
  11. Berpegang Dengan Pegangan Salaf!
  12. Mengaktifkan 'Menara Kontrol eksternal dan Internal'!
  13. Mengenali Musuh Utama!
  14. Menguatkan Benteng Pertahanan Diri!
  15. Memasang Angan-angan Islami!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat anda telah membaca postingan blog KIR! SMANDA CIREBON
Silakan berkomentar